Selasa, 29 Maret 2016

PENYELESAIAN PERSENGKETAAN EKONOMI

Nama Kelompok :
         1.       Yohany Chyntia Dwi A    ( 2C214444 )
         2.       Vinny Asteria                     ( 2C214076 )
         3.       Umar Abdillah                   ( 2A214938 )
 Kelas : 2EB07

PENYELESAIAN PERSENGKETAAN EKONOMI
Dalam perkembangan dewasa ini, bidang perekonomian Indonesia banyak sekali tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga perekonomian. Lembaga keuangan itu dalam operasionalnya didasarkan kepada prinsip syaria’ah, seperti berdirinya bank-bank syari’ah dengan memakai prinsip bagi hasil seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Jakarta, BPR-BPR syari’ah di berbagai daerah tingkat II dan belakangan berdirinya PT Syarikat Tafakul Indonesia yang bergerak dalam bidang perasuransian.
Berdirinya lembaga-lembaga perekonomian dengan ciri syari’ah tersebut tentunya sekaligus akan membuka kemungkinan terjadinya perselisihan diantara pihak yang bersyari’ah, yang menjadi persoalan lembaga manakah yang berwenang untuk menyelesaikan persengkatan tersebut, apakah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama.
Dalam sistem kekuasaan kehakiman pada sebuah pemerintahan sepanjang dijumpai dalam sejarah Islam ditemukan 3 model kekuasaan penegak hukum, yaitu kekuasaan Al-Qadla, kekuasaan Al-Hisbah dan kekuasaan Al-Madzalim. Masing-masing lembaga memiliki kewenangan tersendiri yaitu ( Satria Effendi M.Zein, 1994: 51-52 ):
      ·         Kekuasaan Al-Qadla
Lembaga peradilan itu menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang mencakup perkara-perkara Madaniyat dan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, masalah Jinayat dan tugas tambahan lainnya.
      ·         Kekuasaan Al Hisbah
Lembaga itu merupakan lembaga resmi negara yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan. Misalnya, mengenai pengurangan takaran/timbangan di pasar, menjual makanan yang sudah kadaluarsa, kendaraan yang melebihi kapasitas angkut.
      ·         Kekuasaan Al Madzalim
Badan itu dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang yang teraniaya akibat sikap semena-mena penguasa negara. Lembaga itu juga berwenang untuk menyelesaikan persoalan sogok menyogok dan korupsi.

      A.      Perdamaian ( Ash- Shulhu )
1.       Pengertian
Dalam bahasa Arab, perdamaian diistilahkan dengan Ash- Shulhu, secara harfiah mengandung pengertian memutus pertengkaran/perselisihan. Dalam pengertian syari’at dirumuskan sebagai “Suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (perselisihan) antara 2 orang yang berlawanan.” (Sayyid Sabiq, 13, 1988: 1889 ). Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syari’at Islam diistilahkan Mushalih, persoalan yang diperselisihkan disebut Mushalih’anhu dan perbuatan yang dilakukan oleh salah 1 pihak terhadap pihak yang lain untuk mengakhiri pertikaian/pertengkaran dinamakan dengan Mushalih’alaihi atau disebut juga Badalush Shulh.
2.       Dasar hukum
Adapun dasar hukum anjuran diadakannya perdamaian dapat dilihat dalam ketentuan Al-Qur’an, Sunah Rasul dan Ijmak. Dasar hukum lain yang mengemukakan anjuran diadakannya perdamaian diantara para pihak-pihak yang bersengketa didasarkan pada Ijmak. Para ahli hukum telah sepakat bahwa penyelesaian pertikaian diantara para pihak-pihak yang bersengketa adalah disyari’atkan dalam ajaran Islam.
3.       Rukun dan Syarat perdamaian
Adapun Rukun perjanjian Perdamaian:
a.       Adanya ijab.
b.      Adanya kabul.
c.       Adanya lafal.
Apabila Rukun tersebut telah terpenuhi, maka perjanjian perdamaian diantara para pihak yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak berkewajiban untuk memenuhi/menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.
Adapun syarat suatu perjanjian perdamaian (Sayyid Sabiq, 13, 1988: 190-195):
a.       Menyangkut Subjek (Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian perdamaian).
Orang yang melakukan perjanjian perdamaian, selain cakap bertindak menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.

 Adapun orang yang cakap bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai kekuasaan atau wewenang itu seperti:
1)      Wali, atas harta benda orang yang berada dibawah perwaliannya.
2)      Pengampu, atas harta benda orang yang berada dibawah pengampuannya.
3)      Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf yang ada dibawah pengawasannya.
b.      Menyangkut Objek Perdamaian.
1)      Berbentuk harta (dapat berupa benda berwujud seperti tanah dan dapat juga berupa benda tidak berwujud seperti hak milik intelektual) yang dapat dinilai/dihargai, dapat diserahterimakan, dan bermanfaat.
2)      Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian yang baru terhadap objek yang sama (sedangkan perdamaian memutus pertikaian untuk selama-lamanya).
c.       Persoalan yang Boleh Didamaikan.
Adapun persoalan/pertikaian yang boleh atau dapat didamaikan hanyalah sebatas meyangkut hal-hal berikut:
1)      Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat dinilai.
2)      Pertikaian itu menyangkut hak manusia yang boleh diganti.
Dengan perkataan lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan Muamalah. Sedangkan peroalan-persoalan yang menyangkut hak Allah tidak dapat diadakan perdamaian.
Dalam ketentuan hukum Indonesia, perjanjian perdamaian itu hanya sebatas persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan keperdataan, sedangkan terhadap persoalan-persoalan yang melanggar ketentuan hukum pidana tidak dapat diadakan perjanjian perdamaian, karena hal itu merupakan kewenangan publik/masyarakat. Jadi, kalaupun diadakan perdamaian tidak berarti hapus/berakhirnya penuntutan.
4.       Pelaksanaan Perdamaian
Pelaksanaan perdamaian adalah menyangkut tempat dan waktu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang diadakan oleh pihak-pihak yang terlibat sengketa. Tempat dan waktu tersebut dapat diklasifikasikan kepada perdamaian di luar sidang pengadilan, dan melalui sidang pengadilan

4.1   Perdamaian di Luar Sidang Perdamaian
Di dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja pihak-pihak yang bertikai dapat menyelesaikannya sendiri. Misalnya, mereka meminta bantuan kepada keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya dalam upaya mencari penyelesaian persengketaan di luar sidang secara damai sebelum persengketaan diajukan atau bahkan selama proses persidangan berlangsung. Dengan cara itu banyak yang berhasil.

Untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di kemudian hari, maka sering perjanjian perdamaian itu dilaksanakan secara tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian, agar mempunyai kekuatan hukum dengan catatan perjanjian itu harus dibuat secara otentik, yaitu dibuat di hadapan notaris. Jadi apabila dikemudian hari salah satu pihak melanggar kesepakatan yang telah dibuat maka pihak yang lainnya dapat menunjukkan bukti otentik bahwa perdamaian telah dilangsungkan. Dia dapat mengemukakan bahwa suatu perjanjian perdamaian tidak dapat dibatalkan secara sepihak.

4.2   Melalui Sidang Pengadilan
Perdamaian melalui sidang pengadilan dilangsungkan pada saat perkara diproses di depan sidang pengadilan (gugatan sedang berjalan). Di dalam ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses (dapat juga selama diproses, bahkan sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap) hakim harus menganjurkan agar para pihak yang bersengketa berdamai.

Apabila hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, maka dibuatlah akta perdamaian yang lazimnya diistilahkan dengan akta dading. Dan kedua belah pihak yang bersengketa harus menaati isi dari akta tersebut.

Dan karena perdamaian tersebut bersifat kerelaan atau mau sama mau, maka akta perdamian yang dibuat melalui sidang pengadilan tidak dapat diajukan banding karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

5.       Pembatalan Perdamaian
Perjanjian perdamaian masih mungkin untuk dibatalkan yaitu apabila :
1.       Telah terjadi suatu kekhilafan mengenai subjeknya (orangnya) ;
2.       Telah terjadi kekhilafan terhadap pokok perselisihan.

      B.      Arbitrase
Arbitrase adalah pemutusan suatu persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa di luar hakim atau pengadilan (Subekti, 1984:181). Dasar hukumnya di Indonesia adalah Pasal 15 s.d. 651 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) ; dalam UU tentang MA yaitu UU Nomor 1 Tahun 1950, LN 1950-30).

Keputusan badan perwasitan (arbitrase) oleh undang-undang dipandang sebagai putusan badan peradilan tingkat terakhir, dan sekaligus dapat dimintakan eksekusi, yaitu melalui ketua pengadilan negeri setempat.

Di Indonesia lembaga arbitrase telah didirikan pada tanggal 3 Desember 1977 dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Prakarsa pendirian BANI disponsori oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Suatu persengketaan dapat diajukan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia apabila:
a)      Sebelumnya antara pihak-pihak yang bersengketa telah sepakat bahwa persengketaan mereka diselesaikan berdasarkan keputusan arbiter (wasit) ;
b)      Apabila para pihak yang bersengketa di dalam perjanjian mencantumkan bahwa apabila di antara mereka terdapat persengketaan, maka persengketaan tersebut akan diputus oleh arbiter.
Persoalan-persoalan yang dapat diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini adalah sepanjang hal tersebut masih berada dalam kehendak bebas pihak-pihak yang terlibat seperti contoh persengketaan bidang ekonomi. Dengan demikian persoalan seperti perceraian, nafkah tidak dapat diputuskan dengan arbitrase.
Adapun keuntungan penyelesaian persengketaan melalui arbitrase adalah :
1.       Persengketaan dapat diselesaikan dengan cepat
2.       Akan lebih memungkinkan para pihak untuk menemukan rasa keadilan
3.       Persengketaan tidak sampai diketahui oleh masyarakat banyak.
Untuk hal itu ada pendapat yang mengatakan, “ Tak hanya dalam pandangan sebagai suatu jenis peradilan yang (diharapkan) lebih cepat dan (diharapkan) lebih dapat memenuhi akan rasa keadilan di kalangan pengusaha saja letak pentingnya arbitrase itu, tetapi acapkali telah terbukti pentingnya pula bagi pertumbuhan hukum perdata materiil, misalnya, mengenai perjanjian jual beli perniagaan (handelskoop).” (Soekardono, 1983:202).

REFERENSI :
Soekardono. 1983. Hukum Dagang Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Dian Rakyat
Lubis, Suhrawardi K. 2004. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika