Nama Kelompok :
1.
Yohany Chyntia Dwi A ( 2C214444 )
2.
Vinny Asteria (
2C214076 )
3.
Umar Abdillah (
2A214938 )
Kelas : 2EB07
PENYELESAIAN
PERSENGKETAAN EKONOMI
Dalam perkembangan dewasa ini, bidang
perekonomian Indonesia banyak sekali tumbuh dan berkembangnya lembaga-lembaga
perekonomian. Lembaga keuangan itu dalam operasionalnya didasarkan kepada
prinsip syaria’ah, seperti berdirinya bank-bank syari’ah dengan memakai prinsip
bagi hasil seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI) di Jakarta, BPR-BPR syari’ah
di berbagai daerah tingkat II dan belakangan berdirinya PT Syarikat Tafakul
Indonesia yang bergerak dalam bidang perasuransian.
Berdirinya lembaga-lembaga
perekonomian dengan ciri syari’ah tersebut tentunya sekaligus akan membuka
kemungkinan terjadinya perselisihan diantara pihak yang bersyari’ah, yang
menjadi persoalan lembaga manakah yang berwenang untuk menyelesaikan
persengkatan tersebut, apakah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama.
Dalam sistem kekuasaan kehakiman pada
sebuah pemerintahan sepanjang dijumpai dalam sejarah Islam ditemukan 3 model
kekuasaan penegak hukum, yaitu kekuasaan Al-Qadla,
kekuasaan Al-Hisbah dan kekuasaan Al-Madzalim. Masing-masing lembaga
memiliki kewenangan tersendiri yaitu ( Satria Effendi M.Zein, 1994: 51-52 ):
·
Kekuasaan Al-Qadla
Lembaga
peradilan itu menyelesaikan masalah-masalah tertentu yang mencakup
perkara-perkara Madaniyat dan Al-Ahwal Asy-Syakhshiyah, masalah Jinayat dan tugas tambahan lainnya.
·
Kekuasaan Al
Hisbah
Lembaga
itu merupakan lembaga resmi negara yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan
masalah-masalah atau pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak
memerlukan proses peradilan. Misalnya, mengenai pengurangan takaran/timbangan
di pasar, menjual makanan yang sudah kadaluarsa, kendaraan yang melebihi
kapasitas angkut.
·
Kekuasaan Al
Madzalim
Badan itu
dibentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang yang teraniaya akibat sikap
semena-mena penguasa negara. Lembaga itu juga berwenang untuk menyelesaikan
persoalan sogok menyogok dan korupsi.
A. Perdamaian
( Ash- Shulhu )
1.
Pengertian
Dalam bahasa Arab, perdamaian diistilahkan dengan Ash- Shulhu, secara harfiah mengandung
pengertian memutus pertengkaran/perselisihan. Dalam pengertian syari’at
dirumuskan sebagai “Suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan
(perselisihan) antara 2 orang yang berlawanan.” (Sayyid Sabiq, 13, 1988: 1889
). Masing-masing pihak yang mengadakan perdamaian dalam syari’at Islam
diistilahkan Mushalih, persoalan yang
diperselisihkan disebut Mushalih’anhu dan
perbuatan yang dilakukan oleh salah 1 pihak terhadap pihak yang lain untuk
mengakhiri pertikaian/pertengkaran dinamakan dengan Mushalih’alaihi atau disebut juga Badalush Shulh.
2.
Dasar hukum
Adapun dasar hukum anjuran diadakannya perdamaian dapat dilihat
dalam ketentuan Al-Qur’an, Sunah Rasul dan Ijmak. Dasar hukum lain yang
mengemukakan anjuran diadakannya perdamaian diantara para pihak-pihak yang
bersengketa didasarkan pada Ijmak. Para ahli hukum telah sepakat bahwa
penyelesaian pertikaian diantara para pihak-pihak yang bersengketa adalah
disyari’atkan dalam ajaran Islam.
3.
Rukun dan Syarat perdamaian
Adapun Rukun perjanjian Perdamaian:
a.
Adanya ijab.
b.
Adanya kabul.
c.
Adanya lafal.
Apabila
Rukun tersebut telah terpenuhi, maka perjanjian perdamaian diantara para pihak
yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari perjanjian
perdamaian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak
berkewajiban untuk memenuhi/menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.
Adapun
syarat suatu perjanjian perdamaian (Sayyid Sabiq, 13, 1988: 190-195):
a.
Menyangkut Subjek (Pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian perdamaian).
Orang yang melakukan perjanjian perdamaian, selain cakap bertindak
menurut hukum, juga harus orang yang mempunyai kekuasaan atau mempunyai
wewenang untuk melepaskan haknya atas hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian
tersebut.
Adapun orang yang cakap
bertindak menurut hukum tetapi tidak mempunyai kekuasaan atau wewenang itu
seperti:
1)
Wali, atas harta benda orang yang berada
dibawah perwaliannya.
2)
Pengampu, atas harta benda orang yang berada
dibawah pengampuannya.
3)
Nazir (pengawas) wakaf, atas hak milik wakaf
yang ada dibawah pengawasannya.
b.
Menyangkut Objek Perdamaian.
1)
Berbentuk harta (dapat berupa benda berwujud
seperti tanah dan dapat juga berupa benda tidak berwujud seperti hak milik
intelektual) yang dapat dinilai/dihargai, dapat diserahterimakan, dan
bermanfaat.
2)
Dapat diketahui secara jelas sehingga tidak
melahirkan kesamaran dan ketidakjelasan yang pada akhirnya dapat pula
melahirkan pertikaian yang baru terhadap objek yang sama (sedangkan perdamaian
memutus pertikaian untuk selama-lamanya).
c.
Persoalan yang Boleh Didamaikan.
Adapun persoalan/pertikaian yang boleh atau dapat didamaikan
hanyalah sebatas meyangkut hal-hal berikut:
1)
Pertikaian itu berbentuk harta yang dapat
dinilai.
2)
Pertikaian itu menyangkut hak manusia yang
boleh diganti.
Dengan
perkataan lain, perjanjian perdamaian hanya sebatas persoalan-persoalan
Muamalah. Sedangkan peroalan-persoalan yang menyangkut hak Allah tidak dapat
diadakan perdamaian.
Dalam
ketentuan hukum Indonesia, perjanjian perdamaian itu hanya sebatas
persoalan-persoalan yang menyangkut hubungan keperdataan, sedangkan terhadap
persoalan-persoalan yang melanggar ketentuan hukum pidana tidak dapat diadakan
perjanjian perdamaian, karena hal itu merupakan kewenangan publik/masyarakat.
Jadi, kalaupun diadakan perdamaian tidak berarti hapus/berakhirnya penuntutan.
4.
Pelaksanaan Perdamaian
Pelaksanaan perdamaian adalah menyangkut tempat dan waktu
pelaksanaan perjanjian perdamaian yang diadakan oleh pihak-pihak yang terlibat
sengketa. Tempat dan waktu tersebut dapat diklasifikasikan kepada perdamaian di
luar sidang pengadilan, dan melalui sidang pengadilan
4.1
Perdamaian di Luar Sidang Perdamaian
Di dalam penyelesaian persengketaan, dapat saja pihak-pihak yang
bertikai dapat menyelesaikannya sendiri. Misalnya, mereka meminta bantuan
kepada keluarga, pemuka masyarakat atau pihak lainnya dalam upaya mencari
penyelesaian persengketaan di luar sidang secara damai sebelum persengketaan diajukan
atau bahkan selama proses persidangan berlangsung. Dengan cara itu banyak yang
berhasil.
Untuk menghindari timbulnya kembali persoalan yang sama di
kemudian hari, maka sering perjanjian perdamaian itu dilaksanakan secara
tertulis, yaitu dibuat akta perjanjian perdamaian, agar mempunyai kekuatan
hukum dengan catatan perjanjian itu harus dibuat secara otentik, yaitu dibuat
di hadapan notaris. Jadi apabila dikemudian hari salah satu pihak melanggar
kesepakatan yang telah dibuat maka pihak yang lainnya dapat menunjukkan bukti
otentik bahwa perdamaian telah dilangsungkan. Dia dapat mengemukakan bahwa
suatu perjanjian perdamaian tidak dapat dibatalkan secara sepihak.
4.2
Melalui Sidang Pengadilan
Perdamaian melalui sidang pengadilan dilangsungkan pada saat perkara
diproses di depan sidang pengadilan (gugatan sedang berjalan). Di dalam
ketentuan perundang-undangan ditentukan bahwa sebelum perkara diproses (dapat
juga selama diproses, bahkan sebelum mempunyai kekuatan hukum tetap) hakim
harus menganjurkan agar para pihak yang bersengketa berdamai.
Apabila hakim berhasil mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa,
maka dibuatlah akta perdamaian yang lazimnya diistilahkan dengan akta dading. Dan kedua belah pihak yang
bersengketa harus menaati isi dari akta tersebut.
Dan karena perdamaian tersebut bersifat kerelaan atau mau sama
mau, maka akta perdamian yang dibuat melalui sidang pengadilan tidak dapat
diajukan banding karena telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
5.
Pembatalan Perdamaian
Perjanjian perdamaian masih mungkin untuk dibatalkan yaitu apabila
:
1.
Telah terjadi suatu kekhilafan mengenai
subjeknya (orangnya) ;
2.
Telah terjadi kekhilafan terhadap pokok
perselisihan.
B. Arbitrase
Arbitrase
adalah pemutusan suatu persengketaan oleh seseorang atau beberapa orang yang
ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa di luar hakim atau pengadilan
(Subekti, 1984:181). Dasar hukumnya di Indonesia adalah Pasal 15 s.d. 651 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
(RV) ; dalam UU tentang MA yaitu UU Nomor 1 Tahun 1950, LN 1950-30).
Keputusan
badan perwasitan (arbitrase) oleh undang-undang dipandang sebagai putusan badan
peradilan tingkat terakhir, dan sekaligus dapat dimintakan eksekusi, yaitu
melalui ketua pengadilan negeri setempat.
Di
Indonesia lembaga arbitrase telah didirikan pada tanggal 3 Desember 1977 dengan
nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Prakarsa pendirian BANI
disponsori oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin).
Suatu
persengketaan dapat diajukan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia apabila:
a)
Sebelumnya antara pihak-pihak yang bersengketa
telah sepakat bahwa persengketaan mereka diselesaikan berdasarkan keputusan
arbiter (wasit) ;
b)
Apabila para pihak yang bersengketa di dalam
perjanjian mencantumkan bahwa apabila di antara mereka terdapat persengketaan,
maka persengketaan tersebut akan diputus oleh arbiter.
Persoalan-persoalan
yang dapat diajukan kepada Badan Arbitrase Nasional Indonesia ini adalah
sepanjang hal tersebut masih berada dalam kehendak bebas pihak-pihak yang terlibat
seperti contoh persengketaan bidang ekonomi. Dengan demikian persoalan seperti
perceraian, nafkah tidak dapat diputuskan dengan arbitrase.
Adapun
keuntungan penyelesaian persengketaan melalui arbitrase adalah :
1.
Persengketaan dapat diselesaikan dengan cepat
2.
Akan lebih memungkinkan para pihak untuk
menemukan rasa keadilan
3.
Persengketaan tidak sampai diketahui oleh
masyarakat banyak.
Untuk hal
itu ada pendapat yang mengatakan, “ Tak
hanya dalam pandangan sebagai suatu jenis peradilan yang (diharapkan) lebih
cepat dan (diharapkan) lebih dapat memenuhi akan rasa keadilan di kalangan
pengusaha saja letak pentingnya arbitrase itu, tetapi acapkali telah terbukti
pentingnya pula bagi pertumbuhan hukum perdata materiil, misalnya, mengenai
perjanjian jual beli perniagaan (handelskoop).” (Soekardono, 1983:202).
REFERENSI
:
Soekardono.
1983. Hukum Dagang Indonesia. Jilid
1. Jakarta: Dian Rakyat
Lubis, Suhrawardi
K. 2004. Hukum Ekonomi Islam.
Jakarta: Sinar Grafika